Powered By Blogger

Minggu, 26 Desember 2010

USTADZ ABUBAKAR BA’ASYR: DAKWAH & FITNAHAN


Mungkin bagi sebagian orang sosok Ustadz Abubakar Ba’asyir adalah pribadi yang menakutkan atau sangar bin angker. Karena Ada banyak gelar negatif yang  berhasil diopinikan oleh mereka yang membenci sepak terjangnya sebagai pendakwah Islam yang gigih. Simbolisasi sebagai tokoh terorisme dan bahkan dituduh sebagai Amir (pemimpin Jaringan Islamiyah) Asia Tenggara, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa masuk sebagai organisasi terorisme Internasional menjadi gelar “kehormatan” yang disandangnya.
Ternyata apa yang diopinikan tersebut, semuanya tidak benar dan bersifat spekulasi serta fitnah belaka, ketika penulis bertemu dengan ustadz Abubakar Ba’asyir pada dua kesempatan yang berbeda untuk keperluan studi tesis penulis yang berjudul Gerakan Politik Majelis Mujahidin Indonesia dalam penegakkan Syariat Islam di Indonesia. Pertama pertemuan di Rumah sakit Pusat kesehatan Umat Muhammadiyah Solo. Kedua, pertemuan di Rumah Sakit POLRI Keramat Jati Jakarta. Dua kali pertemuan itulah setidaknya penulis mendapatkan gambaran tentang sosok Ustadz Abubakar Ba’asyir.
Tidaklah berlebihan kemudian majalah Sabili edisi Desember 2002 menobatkan Ustadz Abu sebagai The Man of the Year memiliki kesan bahwa Ustadz Abu adalah sosok yang lemah lembut, ramah terhadap sesama dalam hal syariat Ustadz Abu sangat teguh pada pendirinanya, sikapnya yang istikomah terhadap perjuangan menegakkan syariat Islam membuatnya begitu dicintai oleh para aktivis Islam.  Baik mereka yang mengagumi maupun oleh para pembencinya (musuh Islam). Penilaian yang sama juga di sampaikan oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran Bandung Profesor Mansyur Suryanegara misalnya, menyebutkan Ustadz Abu sebagai sosok Ulama besar dan Bukanlah teroris. Amerika dan Israil lah yang pantas disebut sebagai teroris.
Seorang peneliti asal Amerika Serikat seperti Sidney Jones dalam kapasitasnya sebagai direktur Internasional Crisis Group (ICG) dengan lantang menyuarakan propaganda murahan bahwa Ustad Abu  adalah Amir (Pemimpin) dari jaringan Al Qaeda Asia Tenggara dengan menghubungkan ustadz Abu dengan berbagai aktivitas dakwahnya terutama dengan aktivis Islam Abdul Wahid Kadungga. Propaganda ini dimuat dalam Asia Briefing 8 Agustus 2002 dengan judul: Al Qaeda In southeast Asia: the Case of The “Ngruki Network”.
Cerita usang Sidney Jones dengan keterampilan mengarang dan merangkai satu persatu peristiwa masa lalu tentang Ustadz Abu dengan mengkaitkan masa kini untuk mendukung presepsi liarnya dan untuk kepentingan tertentu, telah menghipnotis para pengambil kebijakan di Indonesia. Hasilnya adalah penangkapan sosok tua renta ini yang pada saat itu tengah terbaring sakit di Rumah Sakit Muhammadiyah Solo pada tanggal 28 Oktober 2002 atas tuduhan berbagai peristiwa pemboman di tanah air (atrium senen, malam natal, Masjid istiqlal dan rencana pembunuhan terhadap Megawati, berdasrkan rekaman Omar Al Faruq), meskipun pada proses akhir pengadilan yaitu di Mahkamah Agung Ustadz Abu tidak terbukti bersalah atas tuduhan rentetan tuduhan tersebut. Ustadz Abu hanya terbukti melakukan pemalsuan dokumen. Sungguh ironi, hanya persoalan pemalsuan dokumen kewarganegaraan, negara telah bertindak melampui batas dengan melakukan penangkapan besar-besaran atas tuduhan terorisme yang sampai saat ini tidak dapat dibuktikan.

Sehingga peristiwa penangkapan Ustadz Abu tanggal 9 Agustus 2010 kemarin  di daerah Banjar Matroman Ciamis Jawa Barat, sepulang dakwah dari Ciamis tentu menggundang tanda tanya dan spekulasi. Karena semua peristiwa terorisme di Indonesia pasti akan selalu dikaitkan dengan Ustadz Abu. Ustadz yang merupakan mantan Aktivis Himpunan mahasiswa Islam (HMI) cabang Surakarta ini tetap tersenyum dan tenang.  Ada sekenario apa lagi yang sedang dilakoni oleh negara atas sosok yang telah menghibahkan hidupnya untuk Islam ini. Pertanyaan seperti ini, lumrah untuk dikemukakan berhubung bangsa ini selalu lihai dalam membuat skenario-skenario palsu. 
Peristiwa tersebut mengingatkan kembali penulis pada pertemuan dengan sosok pria kelahiran Mojo Agung Jombang Jawa Timur 17 Agustus 1938 ini,  sepintas kita akan terteguh melihat sosok tua, murah senyum, ramah tamah, tegar dan kebapakan ini. Tetapi di balik itu semua itu, Ustadz Abu adalah sosok penuh heroik dalam membela agama Islam. Mendengarkan dakwahnya, tidak meledak-ledak seperti para dai lain. Bahasanya pun cukup lugas, datar, tenang dan apa adanya.
Ada dua kesempatan penulis bertemu langsung dengan Ustadz Abu dan dalam suasana yang berbeda pula, Ustadz Abu tetap lah Ustadz Abu. Pertemuan Pertama di Pesantren Almu’min Ngeruki Sukoharjo Solo, lima hari sebelum beliau  masuk Rumah sakit dan penangkapan atas tuduhan Terorisme pada tanggal 28 oktober tahun 2002. Pertemuan kedua di Rumah Sakit POLRI di Keramat Jati pada bulan peberuari 2003.
Pada pertemuan pertama itulah penulis banyak berdiskusi dan bertanya yang berkaitan dengan tesis penulis yaitu adanya tuduhan bahwa  Ustadz Abu sebagai penganut paham Islam keras. Dengan penuh sabar, Ustazd Abu menuggu selesai argumen tuduhan yang disampaikan penulis tentang Islam Keras. Ustadz Abu menjawab dengan tenang, dengan dimulai dengan kalimat Bismillahirahmanirrahim menjawab, dengan mengajukan pertanyaan kembali kepada penulis. Apakah ananda beragama Islam, penulis menjawab iya. Barulah dia menjawab tuduhan tadi. Menurut Ustadz Abu, Islam itu tidak ada Islam keras, lunak, lembek, radikal dan fundamental. Islam adalah Islam. Rujukanya adalah Al-Qur’an dan Sunah. Masalahanya adalah apakah kita berislam secara benar atau tidak. Ukuran Islam benar atau tidak adalah sumber rujukan berislam yang benar. Sebuah dialog yang begitu cair dan membuka ruang untuk berdiskusi. Bahasanya yang sederhana, tenang dan selalu mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan Sunah.
Pada pertemuan selanjutnya di Rumah sakit Kepolisian Keramat Jati, penulis sempat berdiskusi dengan Ustadz Abu tentang berbagai hal khusunya tentang dasar negara, ketika penulis menyampaikan argumen kenapa harus menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, karena kita hidup dalam keanekaragaman. Ada lima agama bahkan enam agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, untuk menjaga kesatuan dan kebhineka tunggal ika, Pancasila adalah yang paling cocok dengan suasana kebatinan keindonesiaan. Argumen tersebut tidak serta merta di bantah oleh Ustadz Abu, akan tetapi beliau mengkritisi posisi Pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Menegakkan Islam dan syariat bagi orang Islam menurut Ustadz Abu adalah konstitusional dan harus mendapatkan perlindungan negara. Bukankah negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Lebih lanjut Ustadz Abu menilai Pancasila tidaklah pantas disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum, karena Pancasila hasil kreasi akal pikiran manusia yang tentu memiliki kelemahan dan kekurangan, yang pantas menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah Al Qur’an dan hadis.Mengenai penghormatan bendera merah putih Ustadz Abu tidak setuju, karena akan mendekatkan pada kesyrikan, yang pantas di hormati adalah Allah SWT.
Adapun tuduhan atas keterlibatan Ustadz abu terhadap gerakan terorisme masih terus terjadi, meskipun pada peristiwa tahun 2002 pengadilan tidak dapat membuktikan dan akhirnya dibebaskan. Karena memang skenario sudah mulai terlihat sejak awal, yaitu terjadinya perubahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada proses peradilan atas ustadz Abu, mulai dari tuduhan yang paling menakutkan yaitu  terlibat dalam berbagai pemboman gereja sampai kepada yang menggelikan yaitu tuduhan tentang masalah keimigrasian.
Secara teoritik pikiran dan gagasan ustadz Abu termasuk dalam kategori radikal, dimana semuanya haruslah berdasarkan pada  Al-Qur’an dan Sunah. Tidak ada ruang interpertasi secara bebas terhadap ayat-ayat Al Qur’an dan Sunah apalagi sampai pada titik penyesuaian dengan situasi, cara interpretasi seperti itu adalah liar. Islam adalah kaffah (menyeluruh), tidak dibenarkan dalam Al Qur’an mengambil dan melaksanakan sebagian dan sebagian lainya di abaikan. Sikap yang seperti inilah menurut Ustadz Abu yang merusak Islam oleh umat Islam sendiri, inilah disebut sebagai spilt personalitiy atau pribadi ganda.
Tetapi pikiran radikal bukanlah terorisme. Meskipun pikiran radikal merupakan bibit-bibit terorisme. Karena pikiran radikal sebagaimana cara pandang Ustadz Abu akan bersentuhan dengan realitas sosial. Maka fakta sosial masyarakat berpotensi melahirkan konflik dan kekerasan serta pada puncaknya berpotensi melahirkan pemahaman teror sebagai langkah progresif mewujudkan gagasan pada tingat realitas sosial oleh para penganutnya.
Sementara pada sisi lain streotip Barat tentang Islam terprovokasi oleh gagasan Huntington dalam tulisannya The Clash of Civilizations and The Remaaking of Word Order tahun 1996. Dimana dunia Pasca perang dingin dengan runtuhnya Uni Soviet, maka satu-satunya musuh Barat adalah Islam.
 Maka alasan dibalik penangkapan ustadz Abu, sesungguhnya adalah langkah pembredelan gagasan yang didakwahkan Ustadz Abu meskipun dengan penuh semangat kepolisian melalui Humas MABES POLRI Irjen Edward Aritonang (TV One, 09 Agustus 2010) telah menyampaikan beberapa alasan hukum kepolisian melakukan penangkapan terhadap Ustadz Abu yaitu; Di tuduh  Menyiapkan rencana pelatihan meliter di Aceh, menunjuk Mustakim dan Murtalib sebagai pengelolah latihan dan Dul Matin pengelolah lapangan, Mengetahui semua rencana-rencana pelatihan di Aceh. Dan kita tunggu proses pengadilan fear, semoga penegakkan hukum tidak menciptakan pelanggaran hukum selanjutnya.  


Oleh Syarif Ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar