Powered By Blogger

Minggu, 26 Desember 2010

Andaikan Saya Menjadi Bupati Bima


Pada awal tulisan ini perlu kiranya saya sampaikan permintaan ma’af, kepada bapak Bupati dan para pendukungya untuk tidak perlu marah. Karena tulisan ini hanyalah refleksi akhir tahun dari anak desa. Tulisan ini juga tidak perlu direspon secara membabibuta dengan penuh amarah, karena memang bukanlah bermaksud merampas kekuasaan yang bapak Bupati miliki dengan susah payah dipertahankan, apalagi berkeinginan untuk mengambil alih kekuasaan alias makar. Toh saya hanyalah anak yang lahir di desa bukanlah turunan siapa-siapa, apalagi turunan para bangsawan ataupun kelompok aristokrat lainya.
Saya hanyalah anak seorang petani sederhana yang hidup disebuah desa dikaki gunung Pundu Nence desa Ntoke Wera. Menikmati  masa-masa kecil di desa, bertelanjang kaki, berterik matahari berlari disepanjang pematang sawah, mendaki dan menuruni bukit mencari buah bidara, duwed dan sebagainya. Adalah sejarah masa kecil saya sambil menemani ayah saya menggembala kambing dan sapi, karena hampir semua masyarakat desa memiliki binatang ternak, seperti termasuk ayam.
Ada pun perubahan pada diri saya hanya akibat dari “paksaan keinginan” semata, membuat saya harus berlari mengejar impian menjadi anak sekolahan ke kota, agar suatu saat nanti tidak dituduh berijasah palsu sebagaimana pemimpin hari ini atau setidaknya diragukan keaslian ijasah saya. Tetapi saya sadar ilmu yang saya peroleh tidak begitu digemari untuk dipelajari, karena semua orang dapat mempraktekan tanpa harus sekolah, orang menyebutnya "Ilmu Politik" bahkan secara negatif di sebut sebagai  "ilmu tipu muslihat". Tapi tak apalah, yang penting saya sekolah benaran.
Karena itu, andaikan saya jadi Bupati Bima, berbekal pengalaman sebagai anak desa, yang tinggal dan hidup di desa, maka harus saya perioritaskan beberapa agenda pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat yang berbasis pada pedesaan. Memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga kesadaran kolektifitas sebuah kehidupan keseimbangan. Tetapi dasar demokrasi telah meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan pedesaan, demokrasi dengan segala kebrutalan individualistiknya menghukum hubungan kekerabatan menjadi "hubungan yang penuh kepura-puraan atas dasar kepentingan sesaat". 
Tapi tak apalah, andaikan saya jadi Bupati Bima, maka tugas utama dan pertama saya adalah merangkai ulang hubungan kekerabatan yang terputus akibat anak demokrasi yang bernama PEMILUKADA, bukan membentuk tembok polarisasi siapa mendukung siapa dan siapa memusuhi siapa, yang pada akhirnya hanya mensejahterakan keluarga saya, teman saya serta para pendukung saya. Oleh Sesepuh Ilmu Politik Amin Rais di sebut, Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Adapun program pembangunan perioritas, jika saya menjadi Bupati Bima sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu memindahkan Ibu kota Kabupaten Bima di Desa, bukan terus berada di Kota Bima dengan tanpa malu-malu berkeliaran, yang pada akhirnya konsentrasi pikiran dan tindakan sangat dipengaruhi oleh karakter dan watak kota yang mengukur hubungan sosial dengan materi.
Dengan demikian jika saya menjadi Bupati Bima, maka saya akan menyusun program pembangunan starategis dengan beberapa indikator kinerja, yang diawali oleh perencanaan yang tersusun secara sistematis dan terukur, tidak asal jadi, tidak asal menghabiskan uang, tidak asal saya senang. Sebagaimana cara berpikir orang kota yang sangat kapitalis dengan mengandung bibit-bibit negatif (hedonisme). Secara ekstrim, paham ini menimbulkan penghisapan orang oleh orang (paham individualistik) dalam mengejar keuntungan maksimal.
Sangat kontradiktif dengan cara berfikir tentang desa oleh anak desa, dimana desa yang sudah terbentuk berabad-abad lalu dengan mekanisme sosial keserasian, kemantapan dan kedamaian dalam artian harus senang dan bahagia semua untuk semua.
Seorang sarjana sosial asal Belanda Boeke (1992) misalnya, meminta pertanggungjawaban kapitalisme dengan ekonomi Barat Modern, yang menyebabkan desa miskin dan terbelakang. Menurutnya bahwa desa sebenarnya tidak berlaku hukum ekonomi sebagaimana yang berlaku di kota. Tetapi apa yang terjadi hari ini, semua desa berlaku ciri khas keterbelakangan, yaitu, (i) kemiskinan, (ii) pembangunan dan produktivitas rendah, (iii) kekurangan informasi, akses, pengetahuan dan keterampilan.
Hal ini disebabkan  oleh sok tahunya para pemimpin selama ini atas nasib masyarakat desa, padahal sektor ekonomi desa didominasi oleh sektor pertanian, perikanan, peternakan. Lain sektor sekedar pelengkap, seperti membangun Paruga Na’e,  dan lain sebagainya.
Membangun Pertanian
Pertanian bukanlah hal yang perlu digembargemborkan oleh pemerintah, karena masyarakat desa sudah cukup berpengalaman mengurus ladang dan  kebun, karena aktivitas inilah yang telah menghidupi mereka secara turun temurun.Masyarakat desa jauh lebih berpengalaman dan lihai mengurus pertanian dibandingka dengan para pejabat atau para kaum aristokrat, mereka hanya mengenal upeti penyembahan dari para masyarakat desa.
Tetapi yang sulit dilakukan oleh mereka para petani adalah membuat aturan dan regulasi tentang pertanian dan perladangan, karena itu mereka menyerahkan kepada pemerintah. Andaikan saya jadi bupati Bima, maka yang perlu saya lakukan adalah menyediakan beberapa sarana dan prasarana pertanian. Membuat dam dan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, menyediakan pupuk dan obat-obatan pertnian, bukan membangun “Paruga Na’e”. Karena itu, belum dibutuhkan saat ini, masih banyak ruang-ruang kosong terbuka untuk pesta rakyat. Dan bahkan lebih familyar bergotong royong membangun “paruga” untuk acara-acara sukuran, pesta pernikahan yang pada akhirnya memperkokoh kesdaran kolektif. “Paruga Na’e”, justru akan membentuk klas-klas sosial baru, merusak tatanan kekeluargaan dan kekerabatan.
Andaikan saya menjadi Bupati, tidak perlu saya memperbanyak koleksi mobil mewah. Tetapi cukup mobil yang sudah ada, kemudian anggaranya saya akan membantu para petani ketika terjadi kelangkaan pupuk. Saya tidak akan menunjuk tim sukses saya untuk menjadi distributor yang mencekik.
Membangun Peternakan
Sebagai anak desa, tentu saya memiliki pengalaman bagaimana beternak yang baik. Memilih bibit-bibit ternak yang bagus, bukan menyediakan bibit-bibit yang berpenyakit sebagaimana yang terjadi selama ini.
Pengadaan bibit ternak, jika saya menjadi bupati tidak harus menunjuk tim saya sebagai pengadaan bibit, karena tidak semua tim saya atau pendukung saya mengerti akan bibit ternak yang baik. Pengadaan bibit haruslah dilakukan oleh orang yang mengerti tentang ternak, yaitu para peternak. Bapak saya tentu punya pengalaman untuk itu dan masih banyak bapak-bapak di desa yang jauh lebih tahu dari pada pegawai peternakan, toh terbukti kambing, kerbau, sapi, ayam bisa di kembangkan dan bahkan menghidupi keluarga-keluarga masyarakat desa.
Andaikan saya menjadi Bupati, tugas saya lebih pada penyiapan obat dan sanitasi secara gratis dan mendorong lahirnya kelompok usaha yang produktif. Dengan demikian tugas Bupati dengan jajaranya menyiapkan pasar dengan mengeluarkan regulasi tentang peternakan yang berpihak pada semua.

Membangun Perikanan
Sungguh istimewah anugerah yang diberikan Tuhan, hamparan lautan yang kaya akan biota laut dalam hal ini ikan. Jika saya menjadi Bupati Bima, maka tugas pemerintahan yang saya pimpin cukuplah membantu menyediakan sarana dan prasaran nelayan, mengatur dengan regulasi yang berpihak kepada para nelayan, tanpa harus mengabaikan konsep keberlajutan dan kelestarian alam. Sehingga eksploitasi beberapa lokasi pasir besi yang terjadi disepanjang pantai, akan saya akhiri, karena bukan menciptkan kesejahteraan dan kedamaian masyarakat desa. Trand kapitalisme adalah menghisap, saya secara ideologi menolak penhisapan manusia oleh manusia.
Membangun Dunia Pendidikan
Pengalaman sebagai anak petani, masalah biaya pendidikan merupakan hal yang sangat menyakitkan, memalukan. Seolah-olah pendidikan formal yang maju dan berbobot hanyalah milik mereka yang bermodal besar. Untuk itulah jika saya menjadi Bupati, maka tugas saya adalah merealisasikan 20% APBN tanpa harus saya sunat.
Dengan modal 20% itulah, saya akan merintis dunia pendidikan yang terjangkau bagi semua untuk semua. Beasiswa bukaanlah diperuntukan oleh mereka yang bermodal tebal, karena alasan kedekatan dengan saya, tetapi yang berprestasi dan tidak mampu. Bukan mengada-ada.
Bidang Kesehatan
Di desa, bagi kami yang sering berhubungan dengan dukun dan tabib (sando), PUSKESMAS bukanlah sesuatu yang istimewah. Karena perawat, Bidan, Mantri dan Dokter adalah mahluk unik yang turun ke desa, dengan baju putih seperti para bidadari yang turun dari surga. Tapi sayang, pengalaman saya sebagai anak desa, berobat ke barisan putih-putih butuh uang. Tabib dan dukun, kami cukup dengan ucapan terima kasih, sebagai simbol kekerabatan.
Jika saya menjadi Bupati, maka tugas yang segera dilakukan adalah menjadikan tenaga medis lebih manusiawi, memberi pertolongan terlebih dahulu baru berbicara bayarannya, sebagaimana dukun dan tabib (sando). Untuk itu saya akan menyediakan anggaran gratis untuk biaya pengobatan dasar agar seluruh warga mendapatkan pelayanan kesehatan.
Bidang Keagamaan
Bidang ini sungguh tenar, keagamaan dalam hal ini keislaman. Saya dan beberapa teman-teman di desa tumbuh dengan tradisi “guru ngaji”. Andaikan saya menjadi Bupati Bima, maka para guru-guru ngaji “benaran” di beri subsisidi secara langsung. Subsisidi tidak semata-mata berupa materi, tetapi yang lebih penting adalah penghargaan sebagaimana kami di desa yang sangat menghargai guru-guru ngaji.
Prilaku sikap dan keteladanan para guru, tidak sekedar pada saat memberi pembelajaran secara resmi sewaktu belajar, tetapi memberikan keteladanan lain tentang kehidupan. Berkeluarga, bekerja, bertutur kata. Semua komplit dalam pribadi guru yang sederhana.
Perbaikan moral generasi jika saya menjadi Bupati Bima, maka yang akan menggunakan tiga konsep dalam tiga tahapan yaitu keluarga, lingkungan (masyarkat) dan Pemerintah (negara).Ketiga faktor ini saling berkaitan antar satu sama lain, bukan seperti sekarag ini.
Bidang Olahraga
Sewaktu alam desa mengajrkan pada kami tentang kehidupan, kami terbiasa bermain bola dengan kelopak pisang, karena tidak ada uang untuk membeli bola. Lomba lari adalah olahraga yang tidak mengeluarkan biaya, kecuali terjatuh. Tetapi itupun kami menggunakan dedaunan untuk mengobati luka.
Jika saya menjadi Bupati ada dua cabang olahraga yang akan menjadi olahraga perioritas dengan orientasi kompetisi. Saya akan menyediakan hadiah dan promosi beasiswa agar mereka yang berprestasi dapat menempuh pendidikan sekaligus mencetak prestasi. Tetapi bidang-bidang olahraga lain tetap diperhatikan, selama memiliki potensi.
Bidang Pemerintahan
Pengalaman sebagai anak desa, tidak semua kami bisa bicara apalagi beretorika. Kehidupan pedesaan mengajarkan pada kami untuk memberi keteladanan dengan sikap, bukan dengan kata-kata. Maka andaikan saya menjadi Bupati Bima, maka saya akan membiasakan aparatur untuk lebih banyak berbuat daripada berbicara. Mendorong terwujudnya aparatur birokrasi yang bermental melayani, bukan dilayani. Hal ini dimulai dari keteladanan kepemimpinan.
Semua harus bekerja, masyarakat didorong untuk lebih banyak bicara, tentang apa yang telah saya lakukan dan akan lakukan. Membiarkan masyarkat untuk menilai, tidak perlu malu dan sungkan untuk dikatakan salah adalah salah dan benar adalah benar, selama koridor untuk menyatakan dan menilai masih dalam alur kehidupan sosial yang disepakati.
Penutup
Demikian kepolosan dan keluguan saya sebagai anak desa, jika saya menjadi Bupati Bima. Membangun Bima dengan konsep kesederhanaan tanpa tipu muslihat. Oleh cerdik pandai dengan meminjam istilah orang seberang disebut dengan Back to Nature. Mengelolah pemerintahan dengan mengacu pada sabda-sabda alam semesta, menerjemahkan dengan ilmu pengetahun untuk mengelolah pemerintahan semua untuk semua.
Tetapi tulisan ini jika saya menjadi Bupati Bima, mohon ma’af Pak Bupati dan Wakil Bupati serta para aparatur pemerintahan Kabupaten Bima, tulisan ini tidak bermaksud kecuali hanya berandai menjadi BUPATI BIMA, karena saya bukanlah siapa-siap. (walahuallam bishawab).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar